Pilkada Sumut semakin dekat. Tanggal 7 Maret nanti seluruh warga Sumatera Utara akan menentukan pilihannya, menentukan siapa yang memimpin dan dapat menjadi penggerak perubahan nasib mereka menjadi lebih baik. Sebagai pesta demokrasi rakyat, maka suasana gegap gempita dalam hiruk pikuk pilkada ini memang seru. Meski masa kampanye sudah berakhir kemarin, namun di dunia, di jejaring sosial seruan untuk memilih calon tertentu adalah hal yang tak bisa terhindarkan.
Kini, di masa tenang ini, mari kita ulas bagaimana peluang para calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur ini di bilik suara nanti. Untuk sementara ini, kalau kita melihat survei yang dilakukan berbagai lembaga hampir bisa dipastikan Pilkada Sumut akan berlangsung hanya satu putaran dengan pasangan Gatot-Tengku Erry sebagai pemenangnya.
Mungkin akan ada yang kritik, “Itu mah lembaga suvey ngga independen. Itu pasti lembaga punya PKS, kerjaan kader PKS, makanya calon PKS menang menurut mereka.” Eit, kalau maksudnya adalah lembaga Media Survey Nasional pimpinan Rico Marbun yang memang dekat dengan PKS bolehlah kita berprasangka buruk bahwa ada maksud propaganda di baliknya. Tapi kali ini ternyata lembaga survey lainnya juga menunjukkan hasil yang sama: pasangan nomor lima akan jadi juara.
Salah satunya adalah survei Pusat Kebijakan Pembangunan Strategis (Puskaptis) dan Indo Matrik yang menyatakan Gatot-Tengku Erry adalah pasangan dengan popularitas dan elektabilitas tertinggi. Ini tercermin dari hasil dua kali survei yang dilakukan pada periode 18-22 Februari dan 25-28 Februari lalu. Gatot-Tengku Erry di urutan pertama, 33,49% disusul Gus Irawan-Soekirman dengan 26,28%. Sisanya dibagi-bagi kepada calon lain Amri Tambunan-RE Nainggolan (11,85%), Chairuman Harahap-Fadly Nurzal (7,8%) dan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi (7,4%).
Nah, memang sih itu masih survei. Dalam waktu satu hari saja, bahkan satu menit saja peta dukungan masih sangat mungkin berubah. Apalagi mengingat banyaknya massa mengambang (swing voters). Apalagi jika manuver politik uang masih ada yang coba-coba melakukan. Entah itu namanya serangan fajar atau apalah. Tapi setidaknya hasil riset ini bisa menjadi salah satu ukuran sementara tentang siapa yang lebih punya kans memimpin 12 juta lebih warga Sumatera Utara.
Sekarang mari kita kulik satu-per satu cagub-cawagub sumut ini. Pertama, pasangan Gus Irawan Pasaribu dan Soekirman. Diusung oleh PAN, Gerindra, PKB dan sejumlah partai gurem. Jualannya adalah Sumut Sejahtera. Ceritanya ke berbagai kampanye adalah perubahan. Janjinya adalah memberikan kredit sebanyak-banyaknya pada masyarakat. Waktu debat kandidat di Metro TV, Gus malah ingin membawa budaya korporasi ke dalam birokrasi. Namun, belakangan kasus dugaan korupsi di Bank Sumut yang pernah dipimpinnya tampak membuat goyah para calon pemilih.
Kedua, pasangan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi. Dicalonkan oleh PDIP, PDS dan PPRN. Beliau ini mau tidak mau harus disebut underdog. Tidak ada harapan. Meskipun Jokowi turun menjadi juru kampanyenya, walaupun iklannya bawa-bawa senyum Jokowi, saya yakin tidak akan ada efeknya. Apalagi memang dikarenakan pencalonannya sendiripun bertentangan dengan konstitusi PDIP. Pernah pula ia mengkritik Dahlan Iskan secara lebay. Yang paling parah, dia yang meskipun bermarga Simbolon ini, lahir di Banjarmasin, besar di Jakarta dan menjadi anggota parlemen Dapil Jakarta, namun terlalu sok tahu soal adat Batak dan merasa sok paling Medan. Hingga puncaknya, Effendi mempermalukan PDIP karena mengatakan bahwa Bagansiapi-api adalah bagian dari provinsi Sumatera Utara. Kelihatan sekali kalau beliau tidak paham Sumut. Gimana mau paham, peta geografisnya saja tidak tahu?
Ketiga, pasangan Chairuman Harahap-Fadly Nurzal. Dicalonkan oleh Golkar, PPP, PPPI dan Partai RepublikaN. Tema utama mereka “membangun dari desa”. Janji manisnya adalah bagi-bagi duit 1 milyar rupiah untuk 1 desa. Terang saja orang yang cerdas akan menyadari bahwa ini hanya sekedar janji muluk-muluk. Jumlah desa dan kelurahan di Sumut mencapai 5.828 berdasarkan data BPS tahun 2011. Untuk merealisasikan janjinya saja sudah habis hampir 6 trilyun, sementara APBD Sumut hanya 8,1 trilyun. Lantas dari mana lagi dana untuk pembangunan infrastuktur, pendidikan, kesehatan, gaji PNS dan lainnya?
Wakilnya Fadly Nurzal, Ketua DPW PPP Sumut yang juga mantan aktivis HMI juga seperti menelan ludah sendiri. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Kejaksaan Tinggi Sumut ketika dijabat Chairuman adalah sasaran demo semua gerakan mahasiswa karena dianggap melindungi berbagai tersangka korupsi. Kini orang akan membaca, “Aktivis HMI menggadaikan idealisme untuk kekuasaan.” Lebih ekstrim lagi yang ngomong begini, “Jika terpilih, akankah Fadly menjadi Anas selanjutnya?”.
Keempat, duet Amri Tambunan- RE Nainggolan. Keduanya diusung Partai Demokrat. Keduanya juga merupakan birokrat senior. Amri masih memimpin Deli Serdang, sedangkan RE pernah menjabat bupati Tapanuli Utara dan kini sebagai Sekda Sumut. Namun karena diusung PD, rasanya mereka menjadi mengecil peluangnya. Sebabnya tentu karena badai yang sedang menghantam internal PD. Setelah Nazaruddin dan Angelina Sondakh, kini Andi Malarangeng dan Anas Urbaningrum juga sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Parahnya, perahu Demokrat retak. Konflik besar melanda bahtera rumah tangganya. Wajar saja kalau nilai jual pasangan ini turun.
Kelima, pasangan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi. Pasangan yang disingkat GANTENG ini diusung oleh PKS, Hanura, PBR, PKNU dan Partai Patriot juga didukung Partai Nasdem. Secara umum, track record mereka bersih. Mereka pun memang dikenal berkarakter ramah dan bersahaja. Visi besarnya adalah Merakyat, Membangun dan Melayani. Tak bisa dipungkiri kepemimpinan Gatot selama menjadi Plt. Gubernur dirasa membawa banyak perubahan. Kalau kemudian ada PNS dan pengusaha yang tak suka, bisa jadi karena “gawean haram” mereka selama ini menjadi sulit.
Belakangan, Gatot di-black campaign dengan isu tukang kawin. Katanya, Gatot punya istri simpanan di Jakarta. Tapi dia tenang saja. Toh, tetangganya dan rakyat Sumatera Utara tahu kalau dia nyaris setiap hari menyapa rakyat Sumatera Utara, jauh sebelum kontestasi Pilkada digelar. Paling banter, sekarang lawan politiknya ingin menjatuhkannya dengan kasus dugaan korupsi impor daging yang melibatkan mantan presiden PKS, LHI. Tentu saja ini usaha sia-sia karena masyarakat yang cerdas tak mudah diprovokasi. Masyarakat juga lebih melihat tokoh, bukan partai. Sehingga di Jawa Barat, calon PKS Ahmad Heryawan kembali memenangkan Pilkada.
Selain, analisis soal partai pendukung dan track record, hitung-hitungan peluang cagub-cawagub di Pilkada Sumut sangat ditentukan oleh faktor etnisitas dan keagamaan. Memang betul, Sumatera Utara sangat majemuk dan heterogen. Dalam sejarahnya juga nyaris tak pernah ada konflik berlatas SARA di provinsi ini. Namun soal pilihan, nyatanya sentimen suku dan agama tetap mempengaruhi para pemilih.
Namun bukan berarti menyiapkan pasangan “Pelangi” bisa menjadi solusi. Kenyataannya banyak pimpinan daerah tak harus kombinasi pasangan Islam-Kristen. Buktinya dulu Syamsul-Gatot secara suku adalah Melayu-Jawa dan secara agama Islam-Islam, bahkan diusung partai Islam PKS dan PPP, tapi bisa menang.
Perlu diketahui, meski sterotipnya di level nasional bahwa Sumut adalah Batak dan Kristen, namun realitasnya penduduk aslinya (khususnya Medan dan pesisir) adalah Melayu dan mayoritasnya adalah Jawa. Meski begitu, faktor Batak dan Kristen tetaplah memegang saham besar. Sayangnya, Pilkada kali ini kebanjiran Batak. Calon nomor 1,2,3 dan 4 punya tokoh Batak. Kalau dibagi rata, kans menang calon Batak akan menjadi kecil. Suara umat Kristen juga akan diperebutkan oleh Effendi Simbolon dan RE Nainggolan. Sebenarnya, RE lebih potensial untuk didukung, tapi karena posisinya sebagai wakil, maka wajar bila ada umat Kristen yang ragu memilihnya. Selain itu, ternyata tak sedikit pula tokoh rohaniawan Kristen yang justru mendukung Cagub Islam, Gatot-Tengku Erry.
Yang menarik memang pasangan Ganteng yang Jawa-Melayu dan Islam-Islam. Kalau suara masyarakat Jawa dan Melayu bersatu padu mendukung mereka, totalnya sudah 40%, sudah pasti menang. Namun suara wong Jowo juga akan diperebutkan oleh Soekirman (1) dan Djumiran Abdi (2). Sedangkan calon Melayu memang hanya Tengku Erry Nuradi, sehingga bisa disimpulkan jika sentimen suku ini diikuti, maka penduduk Melayu Sumut akan solid memilih nomor 5.
Tentu saja, semua ini masih debatable, karena bagi pemilih yang cerdas kompetensi dan kapabilitas akan lebih dicermati ketimbang faktor emosional seperti suku dan agama. Di samping, melacak rekam jejak para pejabat, Debat Kandidat bisa dijadikan cara untuk mengukur kualifikasi seorang calon. Seperti dalam Debat terakhir yang disiarkan Metro TV, terlihat sekali banyak calon yang tak bisa menunjukkan kesantunan politik dan sikap negarawan. Ajang yang seharusnya dimanfaatkan untuk bicara program dan visi-misi, dipakai untuk menyerang dan menjatuhkan lawan, yang sebagiannya malah menggunakan data tidak valid.
Jujur, saya harus angkat jempol pada Amri-RE dan Gatot-Tengku Erry yang tampil santun, tanpa pretensi mendiskreditkan lawan. Pengalaman mereka sebagai birokrat memang telah mengajarkan bagaimana untuk bijak bersikap. Malahan, Gatot yang selalu diserang oleh Gus, Soekirman, Effendi, Djumiran, Chairuman dan Fadly dengan ledekan sapi impor, bahkan dicecar tanpa memberi waktu di saat dia harus bicara oleh Fadly Nurzal hingga habis masa, malah dibalasnya dengan cipika-cipiki yang membuat banyak orang semakin simpati. Pasca debat, imbang Gatot diprediksi hanyalah Gus Irawan.
Begitupun, semua orang punya kebebasan memilih. Yang terpenting jangan sampai jumlah golput meningkat lagi. Saya optimis warga Sumatera Utara sudah semakin arif dan dewasa untuk tidak tergiur pada sekedar uang lima puluh ribu dan sekilo beras. Saya yakin sikap ini pula yang akan membuat pemimpin terbaiklah yang akan dipercaya untuk mengemban amanah. Semoga.